Cari Blog Ini

Minggu, 27 Agustus 2017

Relawan (Pekerja) Sosial Ibarat "Gombal"

“Kenapa ya dia susah-susah mau ngurus anak-anak jalanan itu?”
“Apa sih enaknya mereka jadi pendamping anak-anak gitu? ‘Kan nggak ada bayarannya?”
“Gimana ya cara meraka bertahan hidup atau dapet uang kalo tiap hari mereka ngurusin anak-anak asuhnya”
Apakah ketiga pertanyaan itu pernah terlintas di pikiran kita? Atau apakah kita pernah mendengar orang lain mempertanyakan hal itu? Ya, ketiga pertanyaan tersebut mungkin akan menjadi pertanyaan standart yang terlontar ketika melihat beberapa relawan atau pekerja sosial yang begitu giat membantu masyarakat. Bukan hanya masyarakat, tetapi bisa juga aspek sosial lain yang memerlukan uluran tangan seperti anak-anak jalanan, korban kekerasan, dan korban perdagangan manusia.
Bintang Ramadhan yang akrab dipanggil Om Dodon, koordinator divisi kesehatan di Yayasan Embun Surabaya menuturkan bahwa keberadaan para relawan yang menjadi pendamping ibarat gombal yang bagi sebagian orang memang tidak bernilai. Namun, bagi sebagian orang lain, justru sangat bernilai karena bisa digunakan untuk membersihkan banyak hal. Orang-orang yang mau mendedikasikan dirinya demi urusan sosial dan kemanusiaan ini pun demikian. Walaupun mereka tidak mendapatkan keuntungan, terutama keuntungan materi, atau justru malah mengorbankan banyak hal, mereka tetap melakukan kegiatan sosial dan kemanusiaan demi menjaga masa depan anak asuhnya . Jika tidak ada orang seperti mereka, banyak anak yang memiliki masalah sosial yang terlantar dan tidak terurus.
Berbicara tentang perumpamaan gombal, Om Dodon menuturkan lebih rinci tentang filosofi dari perumpamaannya tersebut dalam akun instagramnya @donbintang:
Gombal....
Entah itu gombal mukiyo,
gombal mukidi, wes gombal apapun yaa tetep gombal bin lap lap-an...beda arti lagi dengan gombalan mukiyo,gombalan mukidi yang lebih berarti rayuan. Ntah itu rayuan asli atau rayuan modus. Lha masalahnya ini hanya gombal tanpa akhiran.... Kalau arti gombal yang tanpa akhiran itu ya kain yang lusuh, lecek, kotor. Tapi kalau ditelisik lebih jauh lagi kasihan nih si gombal, dia rela berkotor2 ria demi kebersihan yang menciptakan sesuatu yang indah, sehat atau apapun yg berkonotasi positif pada suatu benda. Lhaa gombal sendiri,adalah suatu kain atau benda yang rela berkorban bahkan sampai dia rela kalau bahasa ngetrend sekarang di stigma negatif...diumbah sampai resik, dijemur wes garing dientas lha yo koq pancet sek didadikno gombal....oalah mbal gombal...nasibmu seng tanpa akhiran....dan gak tau sampai kapan berakhir jadi gombal....

Lalu, mengapa mereka pada akhirnya memutuskan untuk menjadi pendamping? Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan bagi mereka tentunya. Namun, di atas semua faktor itu, para pendamping ini bisa dipastikan memiliki karakter altruistik dalam dirinya. Altruistik adalah salah satu perilaku pro sosial. Pada beberapa sumber disebutkan bahwa pendamping-pendamping ini rela menjadi pendamping karena didasari oleh rasa ikhlas untuk menolong sesama, mereka merasakan kebahagiaan dengan melakukan kegiatan tersebut. Mereka juga tidak mengharapkan imbalan atau pujian dari orang lain untuk pekerjaan yang dilakukan ini.
Altruisme yaitu memperhatikan kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan kesejahteraan sendiri, altruisme merupakan kebalikan dari sifat egois atau mementingkan diri sendiri. Altruisme adalah bagian dari perilaku prososial dengan alasan kesejahteraan orang lain serta tanpa ada kesadaran akan timbal balik atau imbalan.  Altruisme merupakan hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan diri sendiri (Myers, dalam Sarwono, 2002). Dalam tradisi kristiani dan yahudi, tindakan kerelawanan mengacu pada melakukan perbuatan baik (Unger, 1990). Relawan atau dalam Bahasa Inggris disebut sebagai volunteer adalah seseorang yang melakukan perbuatan kerelawanan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, relawan atau sukarelawan dijelaskan sebagai orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela, tidak karena diwajibkan atau dipaksakan. Relawan adalah seseorang yang tanpa dibayar, ia rela rela menyediakan waktunya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan tanggung jawab yang besar atau terbatas, tanpa atau sedikit latihan khusus namun dapat juga dengan latihan intensif dalam suatu bidang tertentu untuk bekerja secara sukarela dalam membantu tenaga professional (Laila & Asmarany, 2015).
Jadi, menurut pembaca, apakah pekerja sosial masih ibarat gombal?
-Yunisa Sholikhati

Daftar Pustaka:
Laila, Khoirun Nisfil., & Anugriaty Indah Asmarany. (2015). Altruisme pada Relawan Perempuan yang Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus di Yayasan Anak Jalanan Bina Insan Mandiri. Jurnal Psikologi Vol. 8 No. 1 Bulan Juni.
Sarwono, S. W. (2002). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka
Unger, Lynette S. (1990). Altruism as a Motivation to Volunteer. Journal of Economics Psychology 12, 71-100

Sabtu, 17 Januari 2015

Lima Sekawan Berbagi Kisah jadi Pemburu PSK di Jalanan


Dini Hari Keliling Kota, Sediakan Diri Jadi Tempat Curhat


Dari kiri, Herman, Rasti, Anas, Missy, dan Bintang, lima sekawan yang begitu peduli PSK jalanan. Foto: Eko Priyono/Jawa Pos/JPNN.com
Dari kiri, Herman, Rasti, Anas, Missy, dan Bintang, lima sekawan yang begitu peduli PSK jalanan. Foto: Eko Priyono/Jawa Pos/JPNN.com

TIDAK banyak kaum muda Surabaya seperti lima sekawan ini. Tanpa banyak umbar omongan, malam-malam mereka mencari pekerja seks komersial (PSK). Dijadikan teman, lalu diajak hidup yang lebih sehat dan lebih baik. (Laporan Eko Priyono, Surabaya)

Pagi masih sangat buta. Jarum jam menunjukkan pukul 00.20 Rabu (14/1) ketika lima orang keluar dari rumah di sebuah gang buntu kawasan Asemrowo. Dengan berboncengan sepeda motor, mereka beranjak dengan kecepatan rendah tanpa mantel meski hujan turun rintik-rintik.

Di tengah jalan, kelimanya berpencar. Ada yang ke selatan, timur, ada juga yang ke utara. Mereka merambah sisi gelap Surabaya saat sebagian besar penduduk kota sedang terlelap tidur. Tujuannya satu. Berbincang dengan PSK yang sedang menanti tamu datang.

Aktivitas tersebut merupakan salah satu kesibukan mereka sejak dua tahun terakhir. Lima orang itu adalah Herman Felani, 20; Rasti Arie Anggraeni, 19; Junasril Agus alias Anas, 26; Missy Aryati, 32; dan Bintang Ramadan, 31. Mereka terbagi dalam tiga kelompok dan memiliki kawasan sendiri-sendiri yang didatangi hampir setiap hari.

Meski tidak memberikan penghasilan, mereka selalu disambut baik dan disapa ramah ketika mendekati PSK yang sedang mangkal.

”Monggo Nak,” ucap seorang PSK yang usianya sudah menyentuh kepala lima kepada Bintang dan Rasti. Setelah bersalaman, mereka duduk bareng.

Obrolan ringan mengawali pertemuan dini hari itu. Mulai cuaca yang hujan sejak sore hingga intensitas tamu yang mendatangi perempuan paro baya tersebut selama beberapa hari terakhir. Bintang dan Rasti mendengarkan cerita PSK tersebut tanpa menyela. Sesekali perbincangan itu diselingi tawa yang membuat suasana hidup.

Di sela-sela obrolan ringan tersebut, Rasti dan Bintang menyelipkan pesan yang tidak menghakimi.
”Jaga kesehatan ya, Bu. Masih punya kondom kan?” tanya Bintang.
PSK itu menjawab dengan anggukan. Rasti menimpali dengan permintaan agar memberi kabar jika membutuhkan bantuan.

Bahan perbincangan yang sama diucapkan kepada sejumlah PSK yang ditemui di lokasi tersebut. Terkadang perbincangan sampai memakan waktu hingga 30 menit karena PSK itu curhat tentang masalah pribadinya.

Bintang mengatakan, aktivitasnya itu memang lebih banyak mendengarkan kisah dan keluh kesah PSK di Surabaya. Selama ini tidak ada yang mau mendengar perkataan mereka. Termasuk masalah yang sedang dihadapi. Karena itulah, kehadiran para remaja tersebut disambut sangat baik oleh para kupu-kupu malam.

Mereka tidak hanya membawa pesan moral layaknya dai. Tetapi, mereka juga memosisikan diri sebagai teman yang kadang memberikan bantuan. Tidak ada kesan menggurui, sebagai teman curhat. Mereka sekaligus memberikan edukasi secara halus.

"Kami memang tak bisa mengangkat hidup mereka dengan memberikan modal. Tapi, setidaknya kami bisa membantu mereka untuk meminimalkan efek buruk jadi PSK," tambahnya.
Kemauan mendengar itu juga dimanfaatkan untuk memberikan nasihat secara halus tentang bahaya menjadi PSK. Biasanya, nasihat tersebut dilontarkan melalui pertanyaan yang jawabannya dikembalikan kepada PSK.

”Misalnya, ibu tahu enggak bahayanya kalau seperti ini terus? Bagaimana caranya agar tidak terkena penyakit?” ucap Bintang mencontohkan.

Hal yang sama dilakukan Missy, Anas, dan Herman. Mereka berusaha masuk dan diterima di lingkungan para PSK sekadar untuk mendengarkan cerita yang sering berulang-ulang. Di sela-sela perbincangan itulah, mereka memasukkan pesan agar PSK menjaga diri sehingga tidak terjangkit HIV/AIDS.

Tidak mudah bagi mereka bisa diterima di kalangan PSK. Khususnya Bintang, Anas, dan Herman. Kedatangan mereka awalnya dikira aparat yang sedang memata-matai aktivitas PSK. Karena itulah, ketika terjun, mereka selalu melibatkan seorang perempuan.

Agar bisa mendekat dan berbaur, Rasti dan Missy menjadi ujung tombak. Mereka berusaha meyakinkan bahwa tujuannya hanya untuk berbagi kisah. Banyak PSK yang akhirnya menerima. Salah satunya disebabkan melihat Rasti yang masih belia.

"Ada yang salut. Ada juga yang membuat PSK menangis karena teringat anaknya,” ucap perempuan lulusan MAN I Situbondo itu.

Dengan kedekatan tersebut, Rasti sering dipeluk PSK yang teringat anaknya. Saat itulah dia memasukkan pesan positif. Mulai rajin memakai kondom, meminum vitamin, sampai rajin memeriksakan diri ke puskesmas agar bisa memantau kesehatannya.

Lain lagi Missy. Dia mendekati PSK dengan cara mengaku seolah-olah pernah menjadi PSK. Lulusan SMA I Blitar itu berusaha meyakinkan sasarannya bahwa dirinya pernah merasakan pengalaman sebagai PSK. Cara tersebut cukup tokcer untuk bisa diterima.

”Saya sampai bisa tidur-tiduran di kosnya hingga jalan bareng,” paparnya.
Dari sanalah, dia berhasil merayu para PSK agar mau memeriksakan kesehatan ke puskesmas. Berdasar pemeriksaan itulah, diketahui sejumlah PSK yang dikenalnya positif mengidap HIV/AIDS. Sebagai teman, dia berusaha memberikan masukan dan penjelasan tentang penyakit tersebut. Termasuk cara menjaga kondisi tubuh tetap fit.

Kebanyakan PSK di jalanan memahami jika terkena HIV/AIDS, usianya tidak lama. Padahal, virus tersebut menjadi parah ketika kondisi tubuh tidak fit. Karena itulah, dia tidak bosan mengingatkan para PSK kenalannya agar rajin minum obat.

Lima orang itu juga sering jemput bola agar para PSK mau memeriksakan diri ke puskesmas. Biaya pendaftaran di puskesmas hasil iuran para remaja tersebut. Mereka juga pernah memeriksakan secara masal PSK yang berjumlah 40 orang.

Mereka iuran untuk menyewa angkot ke puskesmas. Dari blusukan itu, mereka mendapati kenyataan hidup yang cukup miris.

”Mungkin orang lain tidak percaya. Tapi, ini ada dan nyata,” ucap Anas.
Misalnya, mereka pernah mendapati PSK yang melayani tamu dengan diantar suami dan anaknya yang masih berusia tujuh tahun.

Ketika PSK tersebut sedang menjajakan diri, suami dan anaknya menunggu di tempat yang tidak jauh dari lokasi kencan sampai selesai. Bintang dkk yang menjadi teman ngobrol ketika suami dan anak itu menunggu PSK tersebut selesai bekerja.

Pernah juga ada PSK yang berumur 53 tahun melayani tamu anak yang masih berusia 13 tahun. Ketika sedang berkencan, tiba-tiba petugas satpol PP merazia. Keduanya kemudian diangkut ke truk bersama PSK lain yang terkejar petugas.

Saat itulah PSK tersebut mengatakan kepada petugas bahwa dirinya bukanlah PSK. Dia mengaku sedang jalan-jalan bersama anaknya. Karena pengakuan itulah, mereka dilepas. Setelah dilepas, anak tersebut membayar biaya layanan seks yang diterima dari perempuan yang pantas menjadi ibunya itu.
Ada juga PSK yang berusia 55 tahun. Di tengah keterbatasan hidup, PSK tersebut menghidupi seorang anak berusia 14 tahun yang ditinggalkan ibunya yang juga seorang PSK.

”Kalau enggak salah, anak itu juga sekolah,” ucap Herman.
Ditanya alasan mau bersusah payah berkeliling saat waktu istirahat, mereka terdiam sesaat.
”Kami hanya ingin melakukan apa yang bermanfaat untuk orang lain. Meskipun kami tidak bisa berbuat banyak. Setidaknya yang kami punya itu,” ucap Bintang kemudian seperti dilansir Jawa Pos (Induk JPNN.com), Kamis (15/1).

Tujuan mereka sederhana saja. Mereka ingin para PSK itu tidak terjangkit HIV/AIDS. Kalaupun ada yang sudah positif, mereka berusaha memantau sehingga kondisi tubuhnya terjaga. Blusukan para remaja itu baru berakhir ketika azan subuh berkumandang. Mereka kembali bertemu di rumah aman Yayasan Embun Surabaya ketika hari mulai terang. (*/c6/ayi)

Senin, 27 Oktober 2014

"Lega Bapak Ditangkap, meski Sakitnya tuh disini...."














SEDERHANA: Lala menangis terharu di pelukan Joris Lato karena mendapat kejutan pada hari ultahnya. (Eko Priyono/Jawa Pos)
SEDERHANA: Lala menangis terharu di pelukan Joris Lato karena mendapat kejutan pada hari ultahnya. (Eko Priyono/Jawa Pos)

Lala (nama samaran), siswi SD kelas VI yang sedang mengandung lima bulan karena perbuatan bapak kandung dan gurunya, belum bisa menghilangkan kesedihannya. Di tengah kemelut itu, Lala merayakan ulang tahun di Rumah Aman bersama keluarga barunya Sabtu malam (25/10).
* * *
AIR mata mengalir cukup deras dari mata sayu Lala yang sedang bersimpuh menghadapi enam orang dewasa yang mengadilinya Sabtu malam lalu. Perasaan bersalah karena bangun kesiangan membuatnya tidak berdaya untuk membela diri.
Beberapa pertanyaan yang terlontar tidak mampu membuat bibirnya bergerak sekadar mengajukan alasan untuk menutupi kesalahan. Justru, air mata kian melimpah di pipinya meski tertutup rambut yang menjuntai ke depan. Telapak tangan yang sibuk mengusap wajah semakin menunjukkan bahwa dia sedang menangis.
Lala semakin tidak bisa berkutik ketika ditanya alasannya yang tidak mau makan siang. Jari tangan kanannya terlihat membersihkan kuku jari tangan kiri yang sebenarnya tidak kotor. Dia pun hanya duduk pasrah tanpa perlawanan.
Tiba-tiba, Joris Lato yang memulai ’’persidangan’’ itu langsung mendekap tubuh remaja 15 tahun tersebut sembari membisikkan sesuatu. ’’Selamat ulang tahun, ya,’’ ucap direktur Yayasan Embun Surabaya itu dengan nada lembut. Tangannya berusaha mengusap air mata Lala yang meleleh. Lala langsung tersadar bahwa dia baru saja dikerjai keluarga barunya.
Senyum lepas nan bahagia langsung mengembang dari bibir Lala. Air matanya malah semakin leleh, tapi disertai senyum bahagia. Saking bahagianya, dia memeluk tubuh Joris cukup lama. Pelukan baru terlepas ketika penghuni Rumah Aman lainnya mendadak muncul membawa sebuah kue tar dengan lilin plus dua piring martabak.
Delapan batang lilin yang sudah menyala tidak kunjung ditiup. Tampaknya, Lala masih terbenam dalam perasaan membuncah karena tidak menduga akan mendapat kejutan seperti itu. Remaja berparas manis itu pun terus memeluk tubuh Joris yang sudah berkali-kali meminta agar lilinnya segera ditiup.
Nyanyian lirih lagu ulang tahun membuat Lala beranjak untuk meniup lilin. Tak lupa, dia menyelipkan doa yang sangat singkat. ’’Semoga sukses,’’ ucapnya dan lanjut meniup lilin diselingi tepuk tangan manusia yang berada di sebuah ruangan berukuran 3 x 4 meter persegi itu. Satu per satu penghuni Rumah Aman menyalami sembari mengucapkan selamat.
Wajahnya pun kini tidak lagi muram. Senyum yang ditahan membuat dia terlihat begitu bersemangat untuk segera membagi kue tar ke teman-temannya. Meski begitu, mulutnya tetap terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Celetukan teman yang menanyakan perasaannya saat itu pun dijawab singkat. ’’Gak ruh (tidak tahu, Red),’’ ujarnya sambil terus membagikan kue.
Menggoda Lala saat ulang tahun sebenarnya direncanakan mendadak. Ceritanya, Lala sempat mengaku Sabtu lalu dirinya berulang tahun. Tapi, dia terlihat sedih karena tidak ada yang memberikan ucapan selamat. Joris yang menjadi bapak asuh tebersit untuk merancang pesta ulang tahun yang sederhana.
Dia bersama penghuni Rumah Aman iuran untuk membeli kue tar. Tidak mudah mencari kue tar pada malam Minggu. Untung saja, kue yang dicari akhirnya didapat setelah berkeliling selama hampir satu jam. Hidangan pelengkapnya adalah dua piring martabak dan sebotol cola ukuran besar. ’’Tolong jangan dilihat kuenya. Kami tulus, yang penting kamu senang,’’ ucap Joris yang disambut pelukan Lala dan ucapan terima kasih.
Lala masih menunjukkan perasaannya yang sama sekali tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Dia masih merasakan bahwa persidangan itu dilakukan karena dirinya melakukan kesalahan. Tapi, semua sudah klir dan dia tersadar bahwa yang dialaminya adalah perayaan ulang tahun.
Sejak kehamilannya mencuat, Lala tidak lagi tinggal di rumahnya. Apalagi, diketahui selama ini dia mendapat perlakuan kekerasan seksual dari bapaknya. Lala kini tinggal di sebuah Rumah Aman di kawasan Surabaya Utara. Di rumah yang sangat dirahasiakan itu, dia tinggal bersama keluarga barunya.
Siapa pun tidak mengira rumah bercat putih itu merupakan tempat persembunyian Lala. Tidak ada plakat tulisan apa pun. Dari luar, terlihat tak ada bedanya dengan rumah penduduk lain. Lala sengaja ditempatkan di sana untuk memulihkan kondisinya yang shock dengan pengalaman yang menimpanya.
Ada perubahan drastis pada Lala sejak tinggal di sana. Ketika baru menginjakkan kaki di rumah tersebut, Lala sangat pendiam. Dia lebih banyak menyendiri dan sibuk sendiri. Setelah tiga hari berselang, kondisi Lala membaik. Remaja yang hobi membaca itu pun mulai berkomunikasi dengan penghuni Rumah Aman lainnya.
Saat ini Lala memang berhenti sekolah untuk sementara. Para relawan berusaha mengembalikan rasa percaya diri yang sempat terkikis karena pengalaman pahit yang dialaminya. Kepingan bayangan perlakuan keras sang bapak masih melekat di benak Lala.
Jejak perlakuan itu masih terlihat jelas ketika melihatnya. Sebuah luka memar masih membekas di bawah mata sebelah kanan. Ada juga luka bekas sulutan rokok di tangan kirinya. Dari cerita Lala, itu buah perlakuan bapaknya yang sedang marah.
Kepada pengasuhnya, Lala beberapa kali menanyakan apakah bapaknya sudah ditangkap polisi. Dia menunjukkan rasa lega dan tenang ketika mendengar polisi sudah menangkap bapaknya. Pengasuh pun sempat mengabarkan bahwa bapaknya tidak mengakui perbuatannya. ’’Yo mesti ae gak mau ngaku,’’ ucap Joris menirukan ucapan Lala.
Selama tinggal di Rumah Aman, Lala sering mengisi waktu dengan bermain komputer. Sejumlah buku bacaan sempat dibaca meski tidak sampai tuntas. Dia pun bisa menuliskan nama dan identitasnya sendiri. Hal itu sekaligus membantah tudingan bahwa Lala memiliki keterbelakangan mental seperti yang dituduhkan sebelumnya.
Terbukti, ketika pura-pura dimarahi, Lala bersedih dan menangis. Ketika tahu dikerjai, dia langsung tertawa senang.
Lala yang awalnya tidak mudah percaya sama orang di sekelilingnya juga mulai berubah. Dia sering bermain dan menggoda sesama penghuni Rumah Aman. Termasuk ketika melihat televisi setelah perayaan ulang tahun Sabtu malam. Dia sempat melontarkan sepenggal lirik lagu Cita Citata. ’’Sakitnya tuh di sini...,’’ ucap Lala sembari menunjuk dirinya sendiri disambut gelak tawa keluarga Rumah Aman.